A.
Pengertian ‘Urf
Arti
‘Urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan
yang telahdikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau meninggalkannya.[1] Menurut kebanyakan ulama ‘Urf dinamakan juga Adat, sebab perkara yang
telah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Para ulama ushul Fiqih membedakan
antara Adat dengan ‘Urf dalam
kedudukannya sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan
dengan:
العادة
هي الامر
المنكررمن غير
علاقة عفلية
Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara
berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional
العرف ما يعتاد الناس دو
الطباع السلمية من
اهل قطر
اسلامى بشرط
ان لا
يخالف نصا
شرعيا
Urf adalah sesuatu yang telah menjadi
kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik serta telah dilakukan oleh
penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak bertentangan dengan nash syara.
Dengan demikian ‘Urf bukanlah
kebiasaan alami sebagaimana berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari
pemikiran dan pengalaman. Yang dibahas ulama Ushul Fiqih dalam kaitannya dengan
dalil dalam menetapkan hukum syara adalah ‘Urf, bukan Adat.
B.
Macam-Macam ‘Urf
Urf itu dapat
dilihat dari obyeknya, dari cakupannya, dan dari keabsahannya.
1. Dari sisi obyeknya, Urf dapat dibagi pada dua macam yaitu:
·
Al-Urf
al-Lafdhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafaz atau
ungkapan tertentu. Apabila dalam memahami ungkapan perkataan diperlukan arti
lain, maka itu bukanlah 'urf.
·
Al-Urf
al-Amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan.
2. Dari sisi cakupannya, Urf terbagi kepada dua bagian, yaitu:
·
Al-Urf al-Aam
yaitu
kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di
seluruh daerah.
·
Urf al-Khash,
yaitu
kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu.
3. Dari sisi keabsahannya dalam pandangan syara. dapat dibagi pada
dua bagian yaitu:
·
Al-Urf
al-Shahih adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertentangan dengan dalil syara, tiada menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal, juga tidak membatalkan yang wajib.
·
Al-Urf
al-Fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan
ketentuan syari’at, karena membawa kepada
menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.
C. Syarat-syarat ‘Urf
Urf yang
menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan berfatwa, dan
hakim dalam memutuskan perkara, disyaratkan sebagai berikut :
a) Urf tidak bertentangan dengan nash yang qath’i. Oleh karena itu tidak dibenarkan sesuatu yang telah menjadi biasa
yang bertentangan dengan nash yang qath’i.
b) Urf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum
berlaku.
c) Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang
kemudian. Oleh karena itu, orang yang berwakaf harus dibawakan kepada urf pada
waktu mewakafkan, meskipun bertentangan dengan urf yang datang kemudian.
d) Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut dalam Alqur’an atau hadits.
e)
Pemakaiannya
tidak mengakibatkan dikesampingkannyanash syari’ah dan tidak mengakibatkan
kemadaratan juga kesempitan[2]
D.
Kehujahan ‘Urf
Terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh tentang kehujahan 'urf.
a)
Golongan Hanafiyah
dan Malikiyah berpendapat bahwa 'urf adalah hujah untuk menetapkan hukum. Mereka beralasan firman Allah:
خُذِ ٱلْعَفْوَ وَأْمُرْ بِٱلْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْجَٰهِلِينَ (الاعرف: (
“Jadilah
engkau pemaaa dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah
daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199)
قال النبي : ما راه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن (رواه احمد بن حنبل)
“Apa yang di pandang orang-orang
muslim baik, maka disisi Allah pun baik”
b)
Golongan Syafi’iyyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujah
atau dalil hukum syar’i. Mereka beralasan, ketika ayat
ayat Alqur’an turun, banyak sekali ayat yang mengukuhkan kebiasaan yang
terdapat di tengah-tengah masyarakat.[3]
من اسلف في ثمر فليسلف في كيل معلوم و وزن معلوم الي اجل معلوم
(رواه البخاري)
Apabila kita perhatikan penggunaan 'Urf ini,
bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-mashlahah
al-mursalah, bedanya kemaslahatan dalam urf ini telah berlaku sejak lama sampai
sekarang, sedangkan dalam al-mashlahah al-mursalah kemashlahatan itu bisa
terjadi pada hal-hal yang sudah biasa berlaku dan mungkin pula pada hal-hal
yang belum biasa berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan.
Dalam buku Ilmu Ushul
Fiqih yang di tulis oleh Prof. Dr. Rahmat Syafi’I MA, disana tertulis bahwa,
“’Urf menurut
penyelidikan bukan merupakan dalil syara tersendiri. Pada umumnya ‘Urf
ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan
hukumdan penafsiran beberapa nash. “
D.
Qaidah
Fiqhiyah dari Urf
Para ulama ushul fiqih merumuskan
kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan urf, di antaranya:
العادة المحكمة
Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
لا ينكر تغير الاحكم بتغير الازمنة والامكنة
Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan
perubahan zaman dan tempat
المعرف عرفا كا المشروط شرط
Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang
disyaratkan itu menjadi syarat
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Yang ditetapkan dengan urf sama dengan yang
ditetapkan dengan nash.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rachmat Syafe’I, Prof, Dr. Ilmu Ushul Fiqh, Bandung,
Pustaka Setia, Cetakan IV, 2010
2.
Muhammad Abu Zahrah, Prof.
Terjemah Ushul Fiqih, Jakatra, Pustaka Jaya, 2009
3.
Abdullah, PDF. Ushul Fiqih, 2010.
Leave a comment